Sepele, Sih … Tapi ….

Arlian Buana
6 min readOct 18, 2020

Kau terbangun kedinginan dan seperti biasa di kamarmu yang nyaman kau meraba-raba samping tempat tidurmu mencari remote pendingin ruangan. Tak ada remote. Kau melirik selimut yang tergeletak di kaki kananmu, menariknya ke atas. Setelah tubuhmu merasa lebih tenang dan hangat, baru kau menyadari kau tidak sedang berada di kamar indekosmu yang sempit. Kau sedang berada di penginapan milik Pak Jaji yang beberapa hari lalu dihubungi Rana, di desa Citalahab di kaki Gunung Salak.

“Ah, remote ac-ku hari ini adalah Allah sendiri,” pikirmu. “Dan Ia belum tentu mau menuruti keinginanku.”

Kau terpukau bagaimana pikiranmu bekerja sehingga bisa membuat kelakar tentang Tuhan tak lama setelah bangun tidur. Perlahan kau mulai mengingat bagaimana kaubisa sampai di tempat ini, sebelum semalam kau menghabiskan salah satu malam terbaik dan akan selalu kaukenang dalam hidupmu. Kau menutup matamu lagi, tersenyum-senyum sendiri seperti orang separuh gila.

Semalam, bersama Rana, Uun, Indra, dan Baba, ditemani Pak Jaji, kalian menyaksikan salah satu keindahan yang belum pernah kalian lihat sebelumnya: Jamur Bercahaya. Jamur yang hanya tumbuh di tujuh tempat di Indonesia. Kalian senang sekali seperti kanak-kanak yang menemukan mainan terbaiknya; kalian berjongkok mengumpulkan jamur itu, bahkah merangkak, memfotonya berulang-ulang, dan mulut kalian seperti tak henti-hentinya mendecakkan kekaguman.

Tapi bagimu, bukan jamur itu bagian terbaiknya. Kenyataan bahwa Rana selalu ada di sampingmu sepanjang perjalanan menuju ke sana, bercerita kepadamu dan mendengarkan cerita-ceritamu, juga ikut tertawa mendengar kelakarmu yang seringkali agak kurang pantas, dan kau tertawa mendengar kekonyolan-kekonyolan kecilnya, meski kaki kalian harus menanggung tusukan-tusukan kecil kerikil tajam yang kalian lalui karena kalian memutuskan untuk melepas sandal yang terasa licin lantaran jalanan becek, itulah yang membuamu begitu bahagia. Kau mengingat-ingat kapan terakhir kali kau merasakan kebahagiaan yang sama, sebesar itu, samar-samar dalam kepalamu muncul kilatan peristiwa yang jauh di masa kecilmu.

“Sepele banget, ya, yang begini doang bisa bikin kamu bahagia,” katamu kepada Rana, menunjuk jamur-jamur bercahaya di tangannya ketika kalian merangkak-rangkak di bawah ranting-ranting kecil mencari-cari kayu tempat jamur itu tumbuh. Sekeliling kalian gelap-gulita, cahaya hanya bersumber dari jamur-jamur. “Mudah banget bikin kamu bahagia.”

“Sepele banget memang. Tapi buat sampai ke sini enggak mudah, ya …” jawabnya.

Kau mengangguk, membenarkan, dan tentu saja ia tak melihat anggukanmu. Kau tidak mengatakan apa pun lagi. Meneruskan mencari-cari jamur lebih banyak. Dan kau melihat kunang-kunang. Selain bergerak, cahaya kunang-kunang yang kehijauan berbeda dari cahaya jamur yang cenderung putih benderang seperti lampu neon dengan daya rendah. Kau mencoba menangkap beberapa, menunggu Rana puas mengumpulkan jamur-jamurnya.

Ketika kalian kembali ke jalan utama, tempat Pak Jaji dan teman-temanmu telah berkumpul, kau menghampiri Rana dengan cahaya kunang-kunang yang telah kaulepaskan. Kau meminta izin untuk menempelkan cahaya itu di dahinya, ia tidak bicara apa-apa, hanya tersenyum dan sedikit anggukan kecil. Kau menempelkannya dengan sangat hati-hati dan terkagum-kagum sendiri mendapati apa yang ada di hadapanmu. Kautahu terlalu gombal untuk menyebutnya malaikat atau bidadari, tapi kau merasa ia adalah makhluk paling cantik yang pernah berdiri di hadapanmu dan sekujur tubuhmu merasakan kehangatan asing di lingkungan pegunungan yang begitu dingin.

Rana benar, tidak mudah untuk mencapai ke tempat ini. Sebelumnya, kau belum tidur selama 36 jam. Kalian juga harus melalui jalanan pegunungan yang berkelok-kelok dan berbatu. Selama tiga jam lebih melalui jalan itu, kau hanya bisa menggunakan gigi satu. Dan sebelum tiba di penginapan Pak Jaji, mobil yang kaukendarai mati mesin dua kali. Satu dalam keadaan yang cukup bahaya, di atas tebing curam berbatu sementara di belakangmu ada kendaraan lain yang salah-salah jika kau tak bisa mengendalikan dengan baik mobil kalian akan bertabrakan. Satu lainnya di jalanan datar saja, tapi kau tidak bisa lagi menyalakannya dan kau sama sekali tak mengerti mesin mobil dan tak ada sinyal internet di sana. Kau sempat panik, tangan Rana di bahu kananmu menenangkanmu dan kau kembali bisa berpikir jernih. Menunggu ada kendaraan lain yang lewat. Setelah mendapat bantuan dari seorang sopir truk pertama yang lewat, kalian meneruskan perjalanan yang sulit itu. Di dekat lokasi yang kalian tuju, Google Maps yang kalian andalkan sebagai penunjuk jalan justru menunjukkan jalan memutar yang membuat kalian harus melalui jalan paling buruk dalam perjalanan itu, begitu becek dan di beberapa titik ada genangan besar, ban mobil beberapa kali slip dan harus diputar-putar agar bisa berjalan, tentu dengan gas yang harus diinjak dalam-dalam, bau kanvas kopling yang aus begitu menyengat, dan di samping kanan kalian adalah jurang yang dalam yang sejauh mata memandang hanya daun teh dan daun teh dan daun teh.

Semua kesulitan itu toh terbayar dengan apa yang kalian lihat dan rasakan. Begitu sampai, setelah berfoto-foto di sekitar sungai samping penginapan, kalian makan dengan sangat lahap karena kalian menemukan bakwan jagung terenak sedunia bikinan Bu Jaji.

Di perjalanan pulang ke penginapan, kalian, kau dan Rana, tertinggal jauh dari rombongan yang berjalan cukup aman dengan alas kaki. Kalian menikmati perjalanan itu dengan membicarakan ulang adegan-adegan dan dialog yang paling mengesankan dari sinetron Sex Education yang baru kalian tonton. Rana begitu bersemangat mengulang adegan Otis yang mengantarkan Maeve menggugurkan kandungan. Di luar klinik, selagi Maeve berjuang dengan segala kemampuannya, Otis bertanya kepada teman barunya yang merupakan aktivis antiaborsi, “Apa hadiah terbaik yang bisa diberikan kepada seseorang yang baru saja melakukan aborsi?”

“Pelindung kulit (sunscreen). Ia akan membutuhkan itu untuk melindunginya dari api neraka.”

Rana terkekeh-kekeh menirukan percakapan itu. Juga omongan induk semang Maeve kepada suaminya yang lupa hari ulang tahunnya, “Melupakan ulang tahun istri adalah kekerasan dalam rumah tangga.”

Lalu kalian membicarakan agama, tradisi, pemahaman-pemahaman keberagaman banyak orang di negeri ini, dan semua topik serius yang berkenaan dengan Aceh. Kau banyak mendengarkan apa-apa yang menjadi kecemasan dan keberatan Rana, memahaminya baik-baik, sesekali kau melontarkan pendapatmu, pemahaman atas agama yang kauyakini selama ini.

Setiap kali kau menyadari tangan kalian bergandengan, seluruh tubuhmu merasakan kehangatan ganjil yang sama dan kau menyimpan perasaan itu rapat-rapat.

Kau tertawa geli mendengar cerita Rana yang membeli kaos kaki saat masih SMP dan si penjual menyarankannya untuk sekalian membelikan untuk suaminya, kau bercerita bahwa sebagain besar teman seangkatanmu di pesantren telah menikah, begitu pula teman kuliahmu. Rana menanggapimu dengan dingin, “Itu bukan balapan, kan? Itu bukan balapan. Itu bukan perlombaan.”

Ya, itu bukan balapan. Bukan pula perlombaan. Setiap orang punya waktu dan kecepatannya sendiri. Setiap orang punya jalannya masing-masing.

Setengah jam mengenang semua itu dengan mata terpejam, kau beranjak dari kasurmu, meraih tas, mengambil perlengkapan mandi. Kau merasa siap menghadapi apa pun dalam hidupmu setelah ini. Kau benar-benar merasa menjadi orang yang sama sekali baru, bukan lagi manusia pemurung seperti beberapa bulan lalu, yang putus asa akan banyak hal, yang mendapati banyak rencana-rencana besarnya gagal total; kau merasa mendapatkan semangat baru dan menjadi pintu yang terbuka lebar untuk apa pun yang hidup tawarkan dan berikan.

Hari ini kalian melakukan susur hutan, dipandu Pak Jaji mengenali semua jenis flora yang ada di kaki Gunung Salak. Ada getah kayu berwarna merah yang bisa dipakai untuk mengobati luka, ada pula buah asam seperti bunga yang enak sekali dimakan. Kau masih tidak mengenakan alas kaki, sedang Rana mamakai sepatu olahraga milik Baba. Seperti kebiasaanmu, kau sengaja berjalan paling belakang agar bisa melihat semuanya dengan jelas.

Teman-temanmu dan Rana begitu riang gembira mengikuti setiap penjelasan dan petunjuk Pak Jaji. Sesekali mengambil foto dan video.

Pada tengah hari, di tengah hutan, ada semacam jembatan gantung dari pohon tinggi satu ke pohon tinggi lainnya. Itulah satu-satunya momenmu berdua dengan Rana. Dari belakang kau mengambil videonya berjalan di jembatan, dan ia juga mengambil gambarmu. “Kayaknya, habis ini ada bakal ganti foto profil nih,” katanya menunjukkan tangkapan kameranya kepadamu, bangga, kau iyakan dan tertawa.

Tiba di Curug Macan, tujuan akhir kalian, sudah lewat tengah hari. Kau memisahkan diri dari rombongan, menelusuri batu-batu kali yang besar, melompat dari batu satu ke batu lainnya, tidak terlalu jauh dari teman-temanmu yang bermain-main dengan arus sungai yang deras, tapi cukup sebagai jarak untuk melamun dan memikirkan dirimu sendiri, mengingat-ingat hal terbaik dari masa kecilmu, membayangkan kemungkinan terbaik untuk hari-hari depanmu.

--

--

Arlian Buana

Seperti kata pepatah Kemang Timur, “Main data aja, Booor!”